BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Belajar merupakan salah satu kebutuhan
hidup manusia yang vital dalam usahanya untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan
dirinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dirasakannya belajar
sebagai suatu kebutuhan yang vital karena semakin pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menimbulkan berbagai perubahan yang melanda
segenap aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Tanpa belajar, manusia akan
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan tuntutan
hidup, kehidupan dan penghidupan yang senantiasa berubah. Dengan demikian
belajar merupakan suatu kebutuhan yang dirasakan sebagai suatu keharusan untuk
dipenuhi sepanjang usia manusia, sejak lahir hingga akhir hayatnya. (Syamsu
Mappa, 1994: 1)
Banyak teori mengenai proses
pembelajaran didasarkan pada rumusan pendidikan sebagai suatu proses transmisi
budaya. Dari teori itu lahirlah istilah paedagogi yang diartikan sebagai suatu
ilmu dan seni mengajar anak-anak. Perkembangan selanjutnya, istilah pedagogi
tersebut berubah artinya menjadi ilmu dan seni mengajar.
Di lain pihak perubahan yang terjadi
seperti inovasi dalam teknologi, mobilitas penduduk, perubahan sistem ekonomi,
politik dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka
pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 21 tahun akan menjadi
usang ketika ia berumur 41 tahun. Apabila demikian, maka pendidikan sebagai
suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak lagi dirumuskan sebagai upaya
untuk mentransformasian pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai proses penemuan
sepanjang hayat terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui. (Zainudin Arif,
1984:1)
Kegiatan belajar yang
melibatkan individu atau client dalam proses menentukan apa yang
mereka inginkan, apa yang akan dilakukan, adalah beberapa prinsip dari teori
belajar Andragogi. Teori belajar Andragogi sering juga disebut dengan teori belajar
orang dewasa. Makalah ini akan membahas tentang Teori Belajar Andragogi
tersebut dan membahas kelemahan serta keunggulannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasrkan latar belakang masalah diatas, maka
makalah ini perlu membatasi rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah teori belajar andragogi itu?
2.
Siapakah
tokoh-tokoh teori belajar andragogi itu?
3.
Apakah
perbedaan antara andragogi dan paedagogi itu?
4.
Bagaimankah
penerapan teori belajar andragogi dalam
pembelajaran?
C. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah untuk :
1.
Mengetahui pengertian tentang teori belajar andragogi.
2.
Mengetahui tokoh-tokoh teori belajar andragogi.
3.
Mengetahui perbedaan antara andragogi
dengan paedagogi.
4.
Mengetahui penerapan teori belajar
andragogi dalam pembelajaran.
D. MANFAAT
Manfaat
penulisan dalam makalah ini adalah untuk memberikan tambahan pengetahuan dan
pemahaman tentang teori belajar andragogi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Belajar Andragogi
Secara
etimologis, andragogi berasal dari bahasa Latin “andros” yang berarti
orang dewasa dan “agogos“ yang berarti memimpin atau melayani.
Knowles
(Sudjana, 2005: 62) mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu dalam
membantu peserta didik (orang dewasa) untuk belajar (the science and arts of
helping adults learn). Berbeda dengan pedagogi karena istilah ini dapat
diartikan sebagai seni dan ilmu untuk mengajar anak-anak (pedagogy is the
science and arts of teaching children).
Orang
dewasa tidak hanya dilihat dari segi biologis semata, tetapi juga dilihat dari
segi sosial dan psikologis. Secara biologis, seseorang disebut dewasa apabila
ia telah mampu melakukan reproduksi. Secara sosial, seseorang disebut dewasa
apabila ia telah melakukan peran-peran sosial yang biasanya dibebankan kepada
orang dewasa. Secara psikologis, seseorang dikatakan dewasa apabila telah
memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan dan keputusan yang diambil.
Darkenwald
dan Meriam (Sudjana, 2005: 62) memandang bahwa seseorang dikatakan dewasa
apabila ia telah melewati masa pendidikan dasar dan telah memasuki usia kerja,
yaitu sejak umur 16 tahun. Dengan
demikian orang dewasa diartikan sebagai orang yang telah memiliki kematangan
fungsi-fungsi biologis, sosial dan psikologis dalam segi-segi pertimbangan,
tanggung jawab, dan peran dalam kehidupan. Namun kedewasaan seseorang
akan bergantung pula pada konteks sosio-kulturalnya. Kedewasaan itupun
merupakan suatu gejala yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan untuk
menjadi dewasa. Istilah “andogogi” berasal dari “andr” dan “agogos”
berarti memimpin, mengamong, atau membimbing.
Dugan
Laird (Hendayat S., 2005: 135) mengatakan bahwa andragogi mempelajari bagaimana
orang dewasa belajar. Laird yakin bahwa orang dewasa belajar dengan cara yang
secara signifikan berbeda dengan cara-cara anak dalam memperoleh tingkah laku
baru.
Dengan demikian maka kalau
ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah
dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang
dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya
sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar
adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri
dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner
Centered Training/Teaching).
B. Tokoh-tokoh Teori Belajar Orang Dewasa
1.
Malcolm Knowles
Knowles terkenal dengan
teori andragoginya, oleh karena itu dianggap Bapak Teori Andragogi
meskipun bukan dia yang pertama kali menggunakan istilah tersebut. Andragogi
berasal dari akar kata “aner” yang artinya orang (man) untuk
membedakannya dengan “paed” yang artinya anak. Andragogi adalah seni dan
ilmu yang digunakan untuk membantu orang dewasa belajar.
Malcolm Knowles (1970) dalam mengembangkan
konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
a.
Konsep Diri: Asumsinya bahwa kesungguhan
dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada
bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya
sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep
diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya
sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh
penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self
Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction).
Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang
memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan
menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga
mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri,
meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya
sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
b.
Peranan Pengalaman: Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan
waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam
perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman
pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai
sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut
memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh
sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi
penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam
pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu
pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning
Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman). Hal in menimbulkan
implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan.
Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah
pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain
sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau
partisipasi peserta pelatihan.
c.
Kesiapan Belajar : Asumsinya bahwa setiap individu semakin
menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan
ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi
lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan
peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik
atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena
tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai
pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi. Hal ini membawa implikasi terhadap
materi pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya
materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan
peranan sosialnya.
d.
Orientasi Belajar: Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi
belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki
orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered
Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki
orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem
Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa
seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan
sosial orang dewasa. Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena
adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat
untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak,
penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan
sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar
untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi. Hal ini menimbulkan
implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa,
yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera
diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
2.
Carl Rogers
Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran
yaitu “ Student-Centered Learning” yang intinya yaitu:
a)
Kita
tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya;
b)
Seseorang
akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat
memperkuat/menumbuhkan “self”nya;
c)
Manusia
tidak bisa belajar kalau berada di bawah tekanan
d) Pendidikan akan membelajarkan peserta didik
secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya
perbedaan persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir.
Rogers mengemukakan
adanya tiga unsur yang penting dalam belajar berpengalaman (experimental
learning), yaitu:
a)
Peserta belajar hendaknya dihadapkan pada masalah
nyata yang ingin ditemukan pemecahannya.
b)
Apabila kesadaran akan masalah telah terbentuk, maka
terbentuk pulalah sikap terhadap masalah tersebut.
c)
Adanya sumber belajar,
baik berupa manusia maupun berbentuk bahan tertulis atau tercetak.
Teori belajar
berpengalaman dari Carl Rogers, Javis mengemukakan bahwa teori tersebut
mengandung nilai keterlibatan personal, intelektual dan afektif yang tinggi,
didasarkan atas prakarsa sendiri (self Initiated). Peranan fasilitator
dalam belajar berpengalaman ialah sekedar membantu memudahkan peserta belajar
menemukan kebutuhan belajar yang bermakna baginya.
3.
Robert M. Gagne
Gagne mengemukakan yang
terpenting bagi pendidikan orang dewasa terutama yang berkaitan dengan kondisi
belajar. Menurutnya ada delapan hierarki tipe belajar seperti diuraikan sebagai
berikut:
a)
Belajar Berisyarat; belajar berisyarat
dapat pada tingkatan mana saja dari hierarki sebagai suatu bentuk: Classical
Conditioning. Tipe belajar ini dapat terjadi pada anak-anak maupun orang
dewasa dalam bentuk sikap dan prasangka.
b)
Belajar
Stimulus Respon; belajar
stimulus respon adalah sama dengan Operant Conditioning, yang responnya
berbentuk ganjaran. Dua tipe berikutnya adalah rangkaian motorik dan verbal,
berbeda pada tingkatan yang sama dalam hierarki.
c)
Rangkaian motorik tidak lain dari belajar keterampilan,
sedangkan
d) Rangkaian verbal adalah belajar dengan cara
menghafal (rote learning).
e)
Diskriminasi
Berganda; dalam belajar diskriminasi ganda, memasuki
kawasan keterampilan intelektual berupa kemampuan membedakan antara beberapa
jenis gejala yang serupa. Dengan tipe belajar ini, peserta belajar diharapkan
memiliki kemampuan untuk menetapkan mana di antara tipe tersebut yang tepat
untuk sesuatu situasi khusus.
f)
Belajar
Konsep; adalah kemampuan berpikir abstrak yang mulai
dipelajari pada masa remaja (adolesence). Belajar konsep merupakan salah
satu unsur yang membedakan antara pendidikan orang dewasa dibandingkan dengan
pendidikan anak-anak dilihat dari tingkatan pemikiran tentang konsep.
g)
Belajar
Aturan; merupakan kemampuan merespon terhadap
keseluruhan isyarat, merupakan tipe belajar yang penting dalam pendidikan orang
dewasa. Belajar pemecahan masalah merupakan tingkat tertinggi dalam tipe
belajar menurut hierarki Gagne.
h)
Pemecahan
Masalah; Tipe pemecahan masalah bertujuan untuk
menemukan jawaban terhadap situasi problematik.
4.
Paulo Freire
Paulo Freire adalah
seorang pendidik di negara Brazilia yang gagasannya tentang pendidikan orang
dewasa. Menurut Flaire, pendidikan dapat dirancang untuk percaya pada kemampuan
diri pribadi (self affirmation) yang pada akhirnya menghasilkan
kemerdekaan diri. Ia
terkenal dengan gagasannya yang disebut dengan conscientization yang
terdapat tiga prinsip:
a)
Tak
seorang pun yang dapat mengajar siapapun juga,
b)
Tak seorang pun yang belajar sendiri,
c)
Orang-orang harus belajar bersama-sama, bertindak di
dalam dan pada dunia mereka.
Gagasan ini memberikan
kesempatan kepada orang dewasa untuk melakukan analisis kritis mengenali
lingkungannya, untuk memperdalam persepsi diri mereka dalam hubungannya dengan
lingkungannya dan untuk membina kepercayaan terhadap kemampuan sendiri dalam
hal kreativitas kapablitasnya untuk melakukan tindakan. Fasilitator dan peserta
belajar hendaknya bersama-sama bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses
pengembangan fasilitator dan peserta belajar.
5.
Jack Mezirow
Mezirow berpendapat bahwa pendidikan sebagai
suatu kekuatan pembebasan individu dari belenggu dominasi budaya penjajah,
namun ia melihat kemerdekaan dari perspektif yang lebih bersifat psikologis,
dan kegiatan belajar sebagai suatu metode yang dapat digunakan untuk mengubah
realita masyarakat.
Keinginan belajar terjadi sebagai akibat dari
refleksi pengalaman, dan ia menyatakan adanya perbedaan tingkatan refleksi,
menetapkan perbedaan refleksi dan menetapkan tujuh tingkatan refleksi yang
mungkin terjadi dalam masa kedewasaan, yaitu:
a.
Refleksivitas: kesadaran akan persepsi khusus, arti dan perilaku
b.
Refleksivitas Afektif: kesadaran akan bagaimana
individu merasa tentang apa yang dirasakan, dipikirkan atau dilakukan.
c.
Refleksivitas Diskriminasi: menilai kemanjuran (efficacy)
persepsi, dll.
d.
Refleksivitas Pertimbangan: membuat dan menjadikan
sadar akan nilai pertimbangan yang dikemukakan.
e.
Refleksivitas Konseptual: menilai kemandirian
konsep yang digunakan untuk pertimbangan.
f.
Refleksivitas Psikis: pengenalan kebiasaan
membuat penilaian perasaan. Mengenai dasar informasi terbatas.
g.
Refleksivitas Teoritis: kesadaran akan mengapa
satu himpunan perspektif lebih atau kurang memadai untuk menjelaskan pengalaman
personal.
C. Perbandingan Asumsi dan Model Paedagigi dan
Andragogi
0 komentar:
Posting Komentar